Kamis, 29 September 2016

PUISI

Ayam Pecundang
Karya: Henri Sussantria

Bintang menyeruak tepat diatas mahkota,
bulan tak nampak tertutup selendang hitam berkelompok,
Bayu menyeringai,
lalu tertawa menghajar pori sendi
Raga tak berdaya
dan hanya terkapar di sudut ruang tanpa penerang
Ya, seperti itu ku rasa sekarang
Hanya seonggok daging
Tak berarti, sepi, tak berguna,
terlentang melawan kebodohan dalam jiwa
tapi tak berdaya…
Shitt!!!!!!
Siapa sebenarnya aku ini?
Berartikah?
Mungkin tidak
Memvonis diri, menjadi figuran
Merasa menjadi ayam yang terkandang,
hanya bisa berkokok keras,
menunjukkan kegagahan tapi tak bisa berlaku apa – apa
Berkokok lagi mengungkapkan gundah,
tapi tak digubris,
tak dipedulikan dan tak ada yang merasa mendengar
Mengincar satu mangsa,
memberontak dan ingin menhancurkan kandang besi baja,
Bodohnya aku
Siapa aku, tersadar
Hanya ayam jantan belum tumbuh jalu…
Purworejo, 27 Maret 2010


Kartini di Bangsaku
Karya: Gustian Munaf

Yang kuat adalah yang lemah
Yang bangkit adalah yang terpuruk
Dahulu, pernah bercerita tentang itu
Kelak, kusampaikan cita-cita perjuanganmu.

Hari ini, kukabarkan dalam syair sang saka
Berkobar dalam puisi Indonesia
Para pahlawan bangsa, untukmu Kartini tercinta
Karena, kau memaksaku berpegang nusa dan bangsa.

Indonesia membawa jasamu yang bisa kukenang
Tubuhmu hancur, lebur, hilang entah kemana
Terbawa kenangan pergolakan pertiwi
Pada sebuah pangkuan bangsa yang hebat.

Mengucur deras darah perjuangan seorang Kartini
Membasahi tubuh yang terikat dan dipaksa oleh kekejian
Kali pertama, kau berjuang dengan tanganmu sendiri
Sejalan keangkuhan serdadu-serdadu yang sakral.

Bukit di negeriku ini tenggelam oleh darah dan air mata
Kan kembali aku dalam saf-safku
Merapatkan pasukan Kartini-Kartini yang lantang
Hingga aku bangun dan terjaga pada suatu bangsa.

Ibuku Kartini ……
Teruslah menggelora di garis khatulistiwa
Pegang sandi-sandi negara, lawan penjajah bangsa
Aku berbaris tegap di depan serdadu Indonesia.

Ibuku Kartini ……
Berderai kasih hanya untuk pahlawan jagat raya
Tubuhmu hancur bercampur darah, hilang entah kemana
Demi darahmu ……
Demi tubuhmu ……
Aku perjuangkan negeriku
Ini Indonesiaku.
Jakarta, 21 April 2016


Diilhami Jiwa yang Kosong
Karya: Gustian Munaf
  
Barangkali pernah tampak sosok aura yang tercabik
Menafkah sang hayat bersandar pada jiwa-jiwa munafik
Apa alasannya???
Seru…galau…bahkan kesedihan mencipta dan tercipta pada Sang Pencipta
Sebentar, aku tengok barangkali kamu kamu dan kamu terkubur dalam kekejian

Jiwa mana yang mampu merongrong nasib
Hanyalah tangisan darah yang menganak sungai, membanjiri ludah-ludah yang berdarah
Membelah raga kenanaran muka tak berdenyut
Menghempaskan seluruh angan yang telah usai dimakan kesepian
Tak pernah berujung, kematian.

Suara-suara memengkakkan telinga
memecahkan langit yang tak tergores kebencian setitikpun
Gemlegar halilintar mencongkakkan jiwa-jiwa yang hanyut
Lenyap, musnah, nanar muka tinggal tersisa
Barulah turun air yang panas membasuh kepalsuan akal

Hanya pilihan yang ditatapnya, mencari hidup atau menghidup-hidupi
Lamunan dikacaukan riuhnya lantunan dedaunan yang tersayat
Yogyakarta, 30 September 2006


Saat Indah Tertinggal
Karya: Gustian Munaf

Tetapi kau tiada merasa
kau bilang saat indah
saat kau kuselami masa
ternyata sungguh kau tak merasa.

Saat indah tertinggal
kini sebuah jawaban saat kau ada
menemani dawai jiwa kekal
abadi sekejap menekan dada.

Kau bisa kunyatakan
yang bukan sebuah angan
bukan juga sebuah intan
diantara dua adalah sebuah kawan.

Tak usah kau titipkan
diantara luka yang kau cipta
kan semua rupa saat indah tertinggal.
Puworejo, 31 Oktober 2007


Tatkala Nyawa Tersenyum
Karya: Gustian Munaf

Ku teruskan langkah demi hidupku
walau tuhan senantiasa membantah kehadiranku
aku lemah tak bertulang merangkai sajak
menunggu kesopanan umat menikam jagat.

Inilah rakyat jelata menunggu binasa
menatap sang muka cacat
rendah nyawa tersenyum penuh bisa
menikmati tingginnya batu berlompat
Ayolah nyawa, tersenyumlah !
Purworejo, 11 Mei 2009
  

Karangan Tangis
Karya: Gustian Munaf                   

Berlarian buru gembala liar
terhentak diperhentian takdir illahi
berpaling ruh menatap gambar suram
karena cacat batin mengukir cemas.

Mata tetawa lembut di medan perang
sayap langit pun tertawa
terhempit diantara sengalan nafas
menanti ketika harus berlari.

Kini sebelah mata saja beretika
lainnya, bercerai berai tanpa tangis
tak hirau satu pelita berkadip
menyela ruh lepaspun belum.

Telah pulanglah raga kebencian
merasuk, mendekam penuh sangsi
saatnya ada maaf saat tergunjing
saatnya menyeret makna tak terbaca.

Pergilah memeluk damai
ekor pagi termakan sebuah penyesalan
merintih, menangis hendak berontak
namun lemah menatap pembaringan.

Diatasnya, tampak ruh keriputnya
terbujur kaku, tanpa darah penuh tanya
menjelma sebelah mata seakan bertabur air
niat memejamkan raga tak bernyawa lagi.
Terbalutkan kain kematian
engkau pergi, menyambut hari kepastian
merangkai maaf di atas rangkaian bunga
tak kuasa lagi, ikhlaslah kedua mata luluh bersama karangan tangis.
Purworejo, 8 Desember 2009


Seruan Tak Bernyawa
Karya, Gustian Munaf

Kecilku sepi mencipta obor penerobos
berawal hari ini dan selamanya
aku bertebing dalam kerangka malam
tangan ilusiku membentang penuh senyum beku.

Aku pilih satu malam, lalu aku berdiri di tengahnya menengadah ajakan sang malam
realis hidupku adalah kepastian palsu
kematian adalah bukit abstrakku
sebutir tasbih mengantarku terlapiskan iman.

Bisikan Illahi memuai semakin pasti
hingga kecilku berharap serpih hasrat
obor kecil kecilku meradang sia-sia
terbatas dari seruan meriuk melata tak bernyawa.

Adalah kurencanakan menatap hayat
membentur rongga-rongga seperti terhenti
rencana kan menerobos belenggu alam tak bersiasat
kini kecilku lapar bermuara tentang manusia pemeluk obor penerobos seruan tak bernyawa.
Purworejo, 17 Maret 2010


Kelak adalah Pahlawanku
Karya: Gustian Munaf

Tertatap engkau menyadarkan sebuah figuran
Berkokok menyambut gundah
Maju atau melangkah, bukan juga sebuah kepastian
Bangsa ini adalah ilusi yang hakiki, namun nanti
Lihat yang di sana
Hanya ayam jantan belum tumbuh jalu
Penerobos zaman, penikmat dustanya qolbu
Berartikah? Mungkin saja.

Ajakan tak lagi hiraukan kerangka malam
Merapat menyusun barisan membenahi datangnya sang surya
Tapi kini yang terjadi, menistakan kerah baju para pahlawan
Lenyapkan versi absurd untuk bangsa ini

Ruh siapa yang ada si pundakku?
Benarkah suatu pameran obor kecil yang meradang?
Atau, kenistaan yang mengabdi pada gagahnya abstrakku
Selembar keyakinan, dicundangi kepastian fiktif

Dalam keyakinan ini, tercucurkan darah kesaksian bangsa
Dimanapun, tirani harus tumbang, harus dicabikkan
Dari enggannya seruan yang tak terbatas membatas
Bertekuk, Tuhan akan berkata, “kelak”

Peranku lantas hanya seonggok daging yang bermain metafora
Mengangkat lemahnya tulang yang berdarahkan air
Hingga kawanan peluhmu yang siaga menatap tirani mengangkang
Terbitlah ejaan yang dangkal sampai tak nyata lagi

Sejarah adalah darah
Mati bersejarah, darah menyejarah
Lantas siapa aku? Adalah mereka
Ciptaan yang sejengkal abadi, berjiwa abadi
Seletihnya harus berujung pada kepastian harga diri
Bangunlah ! Kini, mimpi telah usai
Bangunlah ! Kini, semangat harus kuat
Bangunlah ! Kini, teriakkan “merdeka”
Atau menunggu hilang? Jangan

Abadi selamanya menekan bangsa yang baik
Tercucurkan air dan darah tumpah beruah, hanya untuk bangsa
Hamba bersujud berharap bangsa ini ada
Bersorak-sorai tanda kemenangan
Bangkit hadapi menyerang lawan, mengincar satu mangsa
Berhasil, bebas merdeka
Memerdekaan bangsa, memberhasilkan orang lain merdeka
Karena itulah yang menjadikanmu pemimpin bangsa.
Jakarta, 23 Agustus 2014


Sahabat yang Dikenang
Karya: Gustian Munaf

Malam ini, menjelma tanpa undangan dan harapan
Karena, kalian mengerti saat itu semakin mendekati
Semalam menjadi arti, hari ini menghitung hari, dan esok mimpi yang pasti
Kita hanya menusia biasa
Yang bisa terdengar dan lalui karma dunia
Yang ada akan hilang
Yang hilang akan lenyap
Yang lenyap akan mati
Yang mati itu pasti.

Apa artinya perpisahan bagi kalian ?
Mungkin hanya sekedar menangis atas kepergian tanpa diduga
Itu benar, tapi tidak cukup
Bukan sekedar bersalam, menangis, menerima
Tetapi, menutup segala naskah yang dicoret oleh kita
Suka dan duka, gelak dan tawa mengalunkan nada senja.

Perpisahan itu pedih
Bagai dunia tiada rembulan yang menyuluh di malam ini
Tiada pelangi yang menghiasi ciptaan Illahi
Tiada bintang di tengah malam yang menjadi peneman dikala sunyi ini
Rasa cinta dan sayang antara sahabat cukup berbeda
Rasanya terobat rindu, ketika melihat potret di celah diari lama
Ku akan tersenyum di balik kesedihan malam.

Detik dan saat ini pasti ketemu
Perpisahan, tercipta walau tiada sapa yang merela
Mengiringi rentak sunyi, melangkah pergi enggan berhenti
Namun, kita perlu kuat wahai sahabatku
Menerima takdir bahwa kita harus berpisah
Entah kapan, kita akan ketemu kembali
Itu pun, andai aku masih mampu membuka mata
Perjalananmu, kehidupanmu, kuiringi doa kejayaanmu.

Tolong, jangan anggap ini perpisahan
Hanya raga kita terpisah, tapi hati ini, masih saling bertautan
Tubuhku memang tak lagi bersama kalian
Tapi, izinkan aku menyelamatkan hati agar perbedaan ini tak jadi dengki
Aku pergi, karena aku ingin menjadi yang aku ingini
Ajari aku caranya melupakan, sehingga aku lupa caranya menangis
Sehingga aku lupa caranya meratap
Karena aku selalu kenal air mata
Aku hanya ingin tertawa
Sehingga hatiku, mati akan luka.

Aku akan pergi wahai sahabatku
Mengejar mimpi, impianku di dunia ini
Yakinkan aku bahwa engkau senantiasa mengingatimu
Hanya satu pintaku
Aku dan kalian tetap sahabat
Jadikan nostalgia kita pengobat hati di kala rindu
Yakinkan, ketika hati merindukan Tuhan
Maka Tuhan menjelmakan pertemuan kita kembali
Hakikinya, perpisahan bukanlah karena pertemuan.
Salam sayang dan perpisahan, daripadanya sahabatmu.
Untuk selamanya

Jakarta, 4 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar