Ayam Pecundang
Karya: Henri Sussantria
Bintang menyeruak tepat diatas mahkota,
bulan tak nampak tertutup selendang hitam berkelompok,
Bayu menyeringai,
lalu tertawa menghajar pori sendi
Raga tak berdaya
dan hanya terkapar di sudut ruang tanpa penerang
Ya, seperti itu ku rasa sekarang
Hanya seonggok daging
Tak berarti, sepi, tak berguna,
terlentang melawan kebodohan dalam jiwa
tapi tak berdaya…
Shitt!!!!!!
Siapa sebenarnya aku ini?
Berartikah?
Mungkin tidak
Memvonis diri, menjadi figuran
Merasa menjadi ayam yang terkandang,
hanya bisa berkokok keras,
menunjukkan kegagahan tapi tak bisa berlaku apa – apa
Berkokok lagi mengungkapkan gundah,
tapi tak digubris,
tak dipedulikan dan tak ada yang merasa mendengar
Mengincar satu mangsa,
memberontak dan ingin menhancurkan kandang besi baja,
Bodohnya aku
Siapa aku, tersadar
Hanya ayam jantan belum tumbuh jalu…
Purworejo, 27 Maret 2010
Kartini
di Bangsaku
Karya: Gustian Munaf
Yang
kuat adalah yang lemah
Yang
bangkit adalah yang terpuruk
Dahulu,
pernah bercerita tentang itu
Kelak,
kusampaikan cita-cita perjuanganmu.
Hari
ini, kukabarkan dalam syair sang saka
Berkobar
dalam puisi Indonesia
Para
pahlawan bangsa, untukmu Kartini tercinta
Karena,
kau memaksaku berpegang nusa dan bangsa.
Indonesia
membawa jasamu yang bisa kukenang
Tubuhmu
hancur, lebur, hilang entah kemana
Terbawa
kenangan pergolakan pertiwi
Pada
sebuah pangkuan bangsa yang hebat.
Mengucur
deras darah perjuangan seorang Kartini
Membasahi
tubuh yang terikat dan dipaksa oleh kekejian
Kali
pertama, kau berjuang dengan tanganmu sendiri
Sejalan
keangkuhan serdadu-serdadu yang sakral.
Bukit
di negeriku ini tenggelam oleh darah dan air mata
Kan
kembali aku dalam saf-safku
Merapatkan
pasukan Kartini-Kartini yang lantang
Hingga
aku bangun dan terjaga pada suatu bangsa.
Ibuku
Kartini ……
Teruslah
menggelora di garis khatulistiwa
Pegang
sandi-sandi negara, lawan penjajah bangsa
Aku
berbaris tegap di depan serdadu Indonesia.
Ibuku
Kartini ……
Berderai
kasih hanya untuk pahlawan jagat raya
Tubuhmu
hancur bercampur darah, hilang entah kemana
Demi
darahmu ……
Demi
tubuhmu ……
Aku
perjuangkan negeriku
Ini
Indonesiaku.
Jakarta, 21 April 2016
Diilhami Jiwa yang Kosong
Karya:
Gustian Munaf
Barangkali
pernah tampak sosok aura yang tercabik
Menafkah
sang hayat bersandar pada jiwa-jiwa munafik
Apa
alasannya???
Seru…galau…bahkan
kesedihan mencipta dan tercipta pada Sang Pencipta
Sebentar,
aku tengok barangkali kamu kamu dan kamu terkubur dalam kekejian
Jiwa mana yang mampu
merongrong nasib
Hanyalah tangisan
darah yang menganak sungai, membanjiri ludah-ludah yang berdarah
Membelah raga
kenanaran muka tak berdenyut
Menghempaskan
seluruh angan yang telah usai dimakan kesepian
Tak pernah berujung,
kematian.
Suara-suara
memengkakkan telinga
memecahkan
langit yang tak tergores kebencian setitikpun
Gemlegar
halilintar mencongkakkan jiwa-jiwa yang hanyut
Lenyap,
musnah, nanar muka tinggal tersisa
Barulah
turun air yang panas membasuh kepalsuan akal
Hanya pilihan yang
ditatapnya, mencari hidup atau menghidup-hidupi
Lamunan dikacaukan
riuhnya lantunan dedaunan yang tersayat
Yogyakarta, 30 September 2006
Saat Indah Tertinggal
Karya: Gustian
Munaf
Tetapi
kau tiada merasa
kau
bilang saat indah
saat
kau kuselami masa
ternyata
sungguh kau tak merasa.
Saat
indah tertinggal
kini
sebuah jawaban saat kau ada
menemani
dawai jiwa kekal
abadi
sekejap menekan dada.
Kau
bisa kunyatakan
yang
bukan sebuah angan
bukan
juga sebuah intan
diantara
dua adalah sebuah kawan.
Tak
usah kau titipkan
diantara
luka yang kau cipta
kan
semua rupa saat indah tertinggal.
Puworejo, 31 Oktober 2007
Tatkala Nyawa Tersenyum
Karya: Gustian
Munaf
Ku
teruskan langkah demi hidupku
walau
tuhan senantiasa membantah kehadiranku
aku
lemah tak bertulang merangkai sajak
menunggu
kesopanan umat menikam jagat.
Inilah
rakyat jelata menunggu binasa
menatap
sang muka cacat
rendah
nyawa tersenyum penuh bisa
menikmati
tingginnya batu berlompat
Ayolah
nyawa, tersenyumlah !
Purworejo, 11 Mei 2009
Karangan Tangis
Karya:
Gustian Munaf
Berlarian
buru gembala liar
terhentak
diperhentian takdir illahi
berpaling
ruh menatap gambar suram
karena
cacat batin mengukir cemas.
Mata
tetawa lembut di medan perang
sayap
langit pun tertawa
terhempit
diantara sengalan nafas
menanti
ketika harus berlari.
Kini
sebelah mata saja beretika
lainnya,
bercerai berai tanpa tangis
tak
hirau satu pelita berkadip
menyela
ruh lepaspun belum.
Telah
pulanglah raga kebencian
merasuk,
mendekam penuh sangsi
saatnya
ada maaf saat tergunjing
saatnya
menyeret makna tak terbaca.
Pergilah
memeluk damai
ekor
pagi termakan sebuah penyesalan
merintih,
menangis hendak berontak
namun
lemah menatap pembaringan.
Diatasnya,
tampak ruh keriputnya
terbujur
kaku, tanpa darah penuh tanya
menjelma
sebelah mata seakan bertabur air
niat
memejamkan raga tak bernyawa lagi.
Terbalutkan
kain kematian
engkau
pergi, menyambut hari kepastian
merangkai
maaf di atas rangkaian bunga
tak
kuasa lagi, ikhlaslah kedua mata luluh bersama karangan tangis.
Purworejo, 8 Desember 2009
Seruan Tak Bernyawa
Karya,
Gustian Munaf
Kecilku
sepi mencipta obor penerobos
berawal
hari ini dan selamanya
aku
bertebing dalam kerangka malam
tangan
ilusiku membentang penuh senyum beku.
Aku
pilih satu malam, lalu aku berdiri di tengahnya menengadah ajakan sang malam
realis
hidupku adalah kepastian palsu
kematian
adalah bukit abstrakku
sebutir
tasbih mengantarku terlapiskan iman.
Bisikan
Illahi memuai semakin pasti
hingga
kecilku berharap serpih hasrat
obor kecil
kecilku meradang sia-sia
terbatas
dari seruan meriuk melata tak bernyawa.
Adalah
kurencanakan menatap hayat
membentur
rongga-rongga seperti terhenti
rencana
kan menerobos belenggu alam tak bersiasat
kini
kecilku lapar bermuara tentang manusia pemeluk obor penerobos seruan tak
bernyawa.
Purworejo, 17 Maret 2010
Kelak adalah Pahlawanku
Karya:
Gustian Munaf
Tertatap
engkau menyadarkan sebuah figuran
Berkokok
menyambut gundah
Maju
atau melangkah, bukan juga sebuah kepastian
Bangsa
ini adalah ilusi yang hakiki, namun nanti
Lihat
yang di sana
Hanya
ayam jantan belum tumbuh jalu
Penerobos
zaman, penikmat dustanya qolbu
Berartikah?
Mungkin saja.
Ajakan
tak lagi hiraukan kerangka malam
Merapat
menyusun barisan membenahi datangnya sang surya
Tapi
kini yang terjadi, menistakan kerah baju para pahlawan
Lenyapkan
versi absurd untuk bangsa ini
Ruh
siapa yang ada si pundakku?
Benarkah
suatu pameran obor kecil yang meradang?
Atau,
kenistaan yang mengabdi pada gagahnya abstrakku
Selembar
keyakinan, dicundangi kepastian fiktif
Dalam
keyakinan ini, tercucurkan darah kesaksian bangsa
Dimanapun,
tirani harus tumbang, harus dicabikkan
Dari enggannya
seruan yang tak terbatas membatas
Bertekuk,
Tuhan akan berkata, “kelak”
Peranku
lantas hanya seonggok daging yang bermain metafora
Mengangkat
lemahnya tulang yang berdarahkan air
Hingga
kawanan peluhmu yang siaga menatap tirani mengangkang
Terbitlah
ejaan yang dangkal sampai tak nyata lagi
Sejarah
adalah darah
Mati
bersejarah, darah menyejarah
Lantas
siapa aku? Adalah mereka
Ciptaan
yang sejengkal abadi, berjiwa abadi
Seletihnya
harus berujung pada kepastian harga diri
Bangunlah
! Kini, mimpi telah usai
Bangunlah
! Kini, semangat harus kuat
Bangunlah
! Kini, teriakkan “merdeka”
Atau
menunggu hilang? Jangan
Abadi
selamanya menekan bangsa yang baik
Tercucurkan
air dan darah tumpah beruah, hanya untuk bangsa
Hamba
bersujud berharap bangsa ini ada
Bersorak-sorai
tanda kemenangan
Bangkit
hadapi menyerang lawan, mengincar satu mangsa
Berhasil,
bebas merdeka
Memerdekaan
bangsa, memberhasilkan orang lain merdeka
Karena
itulah yang menjadikanmu pemimpin bangsa.
Jakarta, 23 Agustus 2014
Sahabat yang Dikenang
Karya:
Gustian Munaf
Malam
ini, menjelma tanpa undangan dan harapan
Karena,
kalian mengerti saat itu semakin mendekati
Semalam
menjadi arti, hari ini menghitung hari, dan esok mimpi yang pasti
Kita
hanya menusia biasa
Yang bisa
terdengar dan lalui karma dunia
Yang
ada akan hilang
Yang
hilang akan lenyap
Yang
lenyap akan mati
Yang
mati itu pasti.
Apa
artinya perpisahan bagi kalian ?
Mungkin
hanya sekedar menangis atas kepergian tanpa diduga
Itu
benar, tapi tidak cukup
Bukan
sekedar bersalam, menangis, menerima
Tetapi,
menutup segala naskah yang dicoret oleh kita
Suka
dan duka, gelak dan tawa mengalunkan nada senja.
Perpisahan
itu pedih
Bagai
dunia tiada rembulan yang menyuluh di malam ini
Tiada
pelangi yang menghiasi ciptaan Illahi
Tiada
bintang di tengah malam yang menjadi peneman dikala sunyi ini
Rasa
cinta dan sayang antara sahabat cukup berbeda
Rasanya
terobat rindu, ketika melihat potret di celah diari lama
Ku akan
tersenyum di balik kesedihan malam.
Detik
dan saat ini pasti ketemu
Perpisahan,
tercipta walau tiada sapa yang merela
Mengiringi
rentak sunyi, melangkah pergi enggan berhenti
Namun,
kita perlu kuat wahai sahabatku
Menerima
takdir bahwa kita harus berpisah
Entah
kapan, kita akan ketemu kembali
Itu
pun, andai aku masih mampu membuka mata
Perjalananmu,
kehidupanmu, kuiringi doa kejayaanmu.
Tolong,
jangan anggap ini perpisahan
Hanya
raga kita terpisah, tapi hati ini, masih saling bertautan
Tubuhku
memang tak lagi bersama kalian
Tapi,
izinkan aku menyelamatkan hati agar perbedaan ini tak jadi dengki
Aku
pergi, karena aku ingin menjadi yang aku ingini
Ajari
aku caranya melupakan, sehingga aku lupa caranya menangis
Sehingga
aku lupa caranya meratap
Karena
aku selalu kenal air mata
Aku
hanya ingin tertawa
Sehingga
hatiku, mati akan luka.
Aku
akan pergi wahai sahabatku
Mengejar
mimpi, impianku di dunia ini
Yakinkan
aku bahwa engkau senantiasa mengingatimu
Hanya
satu pintaku
Aku dan
kalian tetap sahabat
Jadikan
nostalgia kita pengobat hati di kala rindu
Yakinkan,
ketika hati merindukan Tuhan
Maka
Tuhan menjelmakan pertemuan kita kembali
Hakikinya,
perpisahan bukanlah karena pertemuan.
Salam
sayang dan perpisahan, daripadanya sahabatmu.
Untuk selamanya
Jakarta, 4 Juni 2015